Jumat, 03 Mei 2013

Sifat Kepemimpinan Hasta Brata dan Ki Hajar Dewantara (Tugas MID)

Sifat Kepemimpinan Hasta Brata

Dalam khasanah budaya Jawa kuno, sedikitnya ada empat ajaran filsafat kepemimpinan. Keempat ajaran tersebut adalah; Ilmu Hasta Brata, Wulang Reh, Tripama, dan Dasa Darma Raja. Ulasan mendalam tentang keempat ajaran tersebut dapat dibaca antara lain dalam buku yang ditulis oleh Pardi Suratno berjudul “Sang Pemimpin”. Dari keempat ajaran tersebut, Hasta Brata merupakan yang (relatif) paling lengkap dan sangat ideal sehingga menarik untuk dikaji menggunakan pendekatan konteks kekinian (kontemporer).
Ilmu Hasta Brata tergolong ajaran yang sangat tua, mulai diperkenalkan melalui lakon pewayangan Wahyu Makutharama. Wayan Susetya dalam bukunya “Kepemimpinan Jawa” melukiskan kehebatan ilmu Hasta Brata ini sedemikian rupa. Hasta Brata adalah ilmu tentang delapan (hasta) sifat alam yang agung. Pemimpin yang menguasai ilmu Hasta Brata ini akan mampu melakukan internalisasi diri (pengejawantnhan) kedalam delapan sifat agung yang mewakili simbol kearifan dan kebesaran Sang Pencipta, yaitu:

1.        Sifat Bumi
Seperti halnya bumi, sifat ini memberikan tempat hidup kepada manusia, tumbuhan dan hewan. Seorang pemimpin yang menguasai sifat Bumi akan mengarahkan kekuasaannya untuk mensejahterakan rakyat dan mengentaskan kemiskinan. Seorang pemimpin juga harus mampu menghadapi segala masalah dengan kesabaran, pikiran dan hati jernih ketika mengambil keputusan, serta mampu memberikan harapan dan tumbunya kreatifitas anggotanya, kreatif dalam mengatasi masalah, sebagaimana bumi menjadikan kotoran menjadi sumber makanan bagi tumbuhan.

2.        Sifat Matahari
Matahari mampu memberikan sumber energi yang besar bagi seluruh makhluk hidup, seperti itulah juga seorang pemimpin kepada rakyatnya. Pemimpin harus memiliki energi positif yang mampu bertindak produktif untuk rakyatnya. Selain itu, seorang pemimpin yang memiliki sifat matahari ini akan memberikan inspirasi dan semangat untuk menghadapi masalah yang ia hadapi. Tidak hanya itu, ia juga akan membela rakyatnya yang tertindas.
 
3.      Sifat Bulan
Bulan merupakan sumber cahaya saat malam tiba. Seperti bulan yang selalu menyejukkan dan menjadi penerang dari gelapnya bumi, seperti itulah pemimpin yang mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap tegas dan keputusan yang tidak menimbulkan konflik. Ia akan selalu memancarkan kebahagiaan dan harapan. Cahayanya yang selalu memberikan pencerahan akan menjadi penuntun untuk rakyatnya.

4.      Sifat Samudra
Sifat samudra adalah luas dan lapang yang berarti memberikan simbol keluasan hati dan kelapangan dada. Seorang pemimpin yang memiliki sifat ini akan mampu menerima saran dan kritikan dengan lapang. Ia akan selalu menyediakan waktu dan bersifat terbuka untuk menampung segala keluhan dan aspirasi rakyat. Ia juga memberikan kesempatan berbicara kepada rakyatnya tanpa melihat siapa yang berbicara tapi memperhatikan apa yang dibicarakan dengan penuh kesabaran. Singkat kata, rakyat mencintainya dan lawan pun menyeganinya.

5.      Sifat Bintang
Sifat bintang melukiskan posisi yang tinggi. Seorang pemimpin yang memiliki sifat ini mempunyai kepribadian yang mulia, berkerlip dalam gelap dan menjadi penunjuk arah yang teguh, jujur, dan disiplin sehingga dalam kehidupan bermasyarakat ia akan menempati posisi terhormat dan dihormati. Ia akan menjadi panutan bagi rakyat/anggotanya.

 6.      Sifat Angin
Sifat angin adalah dapat masuk ke segala tempat. Pemimpin yang memiliki sifat ini selalu membaur kepada siapa pun, tak mengenal tempat dan bisa berada di setiap strata atau lapisan masyarakat tanpa pilih kasih. Sikapnya yang sejuk dan lembut membuat ia disegani bawahannya. Pemimpin seperti ini selalu terukur dalam bicaranya (tidak asal omong), setiap pernyataan yang ia lontarkan disertai argumentasi dan dilengkapi dengan fakta. Ia mampu memberi solusi pada setiap masalah, sebagaimana angin yang berusaha mengisi ruang kosong.

7.      Sifat Api
Sifat api dapat membakar apa saja, tanpa pandang bulu, termasuk besi sekalipun. Api dimaknai secara positif sebagai simbol dari sifat yang tegas dan lugas. Pemimpin yang memiliki sifat ini konsisten dan objektif dalam menegakkan aturan serta bersikap adil. Ia juga cekatan dalam menyelesaikan persoalan. Energi positif yang ia miliki mampu memberi semangat kepada rakyatnya yang mengarah pada kebaikan dan memerangi kejahatan.

8.      Sifat Air
Sifat air berbeda dengan samudra yang luas dan lapang. Air selalu mengalir dan mencari tempat terendah yang berarti pemimpin seperti ini memiliki sifat rendah hati dan tidak sombong kepada rakyatnya. Pemimpin harus bisa menyatu kepada rakyatnya agar ia tahu apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya sehingga rakyat akan merasa sejuk, aman, nyaman, dan tentram bersama pemimpinnya dan kehadirannya selalu diharapkan.
Kedelapan watak dan kecakapan tersebut amat penting bagi pemimpin yang berjiwa ksatria sebagai sarana untuk mendharmabaktikan dirinya kepada negara dan rakyat, karena dharma bakti pemimpin yang benar akan menjamin kesejahteraan dan keselamatan negara dan rakyatnya.

Sifat Kepemimpinan  Ki Hajar Dewantara
 
Konsep manajemen dan kepemimpinan yang kita pelajari kebanyakan berasal dari pemikiran barat. Padahal sebenarnya kita memiliki konsep manajemen made in Indonesia yang luar biasa! Konsep manajemen barat memandang birokrasi manajemen dari aspek vertikal dan horizontal. Jadi selalu berbicara atasan dan bawahan (vertikal) serta posisi dalam level sama, kesamping kiri dan kanan (horisontal). Di Indonesia, terdapat suatu konsep kepemimpinan yang berbeda dimensi, bukan atas bawah, tetapi depan belakang. Depan belakang? Iya, itulah konsep kepemimpinan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh dan pelopor pendidikan di Indonesia, yang mendirikan Perguruan Taman Siswa di tahun 1922. Di dalam mengelola perguruan tersebut, Ki Hajar memiliki moto dalam bahasa jawa yang berbunyi: Ing ngarso sung tulodho, ing madaya mangun karsa, tut wuri handayani. Moto tersebut terjemahan langsungnya adalah di depan memberikan teladan, di tengah menggerakkan, di belakang memberikan dorongan. Moto tersebut pada mulanya ditujukan untuk menjadi pedoman untuk membangun kultur positif antara guru dan murid, namun dalam perkembangannya konsep tersebut digunakan menjadi konsep kepemimpinan, yang khas dan asli Indonesia.
Konsep kepemimpinan khas Indosesia ala Ki Hajar tidak membedakan orang dari tingkatannya, tetapi dari peranannya. Peran itupun tidak selalu sama, bisa peran saat di depan, peran pada saat di tengah, dan peran pada saat di belakang. Dengan kata lain, pada suatu saat seorang pemimpin harus berperan di depan, pada saat lain di tengah, dan saat yang lain lagi bisa berperan di belakang.

Saat Pemimpin di Depan atau “Ing Ngarso Sun Tulodho”
          Seorang pemimpin adalah panutan. Sebagai panutan, orang lain yang ada disekitarnya akan mengikuti. Seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang - orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
Disini bisa dilhat betapa besarnya tanggungjawab moral seorang pemimpin, karena tindak-tanduknya, tingkah lakunya, cara berfikirnya, bahkan kebiasaannya akan cenderung diikuti orang lain. Untuk itulah maka saat berada di depan, pemimpin harus memberikan teladan, memberikan contoh. Disini tidak tercermin adanya atasan-bawahan, tetapi jelas menunjukkan siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin.
           Ini disebutkan oleh Ki Hajar dengan terminologi “ing ngarso sung tulodho”, saat di depan seorang pemimpin harus memberi teladan. Kata Ing Ngarso tidak dapat berdiri sendiri , jika tidak mendapatkan kalimat penjelas dibelakangnya. Artinya seorang yang berada di depan jika belum memberi teladan maka belum pantas menyandang gelar 'pemimpin' .

Saat Pemimpin di Tengah atau “Ing Madyo Mbangun Karso”
           Seorang pemimpin yang berada di tengah-tengah orang-orang yang dipimpinnya, harus mampu menggerakkan, memotivasi, dan mengatur sumberdaya yang ada (empowering). Pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri (intrinsic motivation), sehingga ada ataupun tidak adanya stimuli tetap saja akan termotivasi. Hanya saja, kadar motivasi dari diri sendiri sering tidak stabil kehadirannya. Untuk itulah maka motivasi dari luar dirinya (extrinsic motivation) tetap sangat diperlukan. Disinilah seorang pemimpin dapat mengambil peran. Kehadirannya membuat orang tergerak untuk bertindak. Itulah pemimpin sejati.
Ajaran kedua ini sarat dengan makna kebersamaan , kekompakan , dan kerjasama . Seorang pemimpin tidak hanya melihat kepada orang yang dipimpinnya , melainkan ia juga harus berada di tengah - tengah orang yang dipimpinnya . Maka sangat tidak terpuji bila seorang pemimpin hanya diam dan tak berbuat apa - apa sedangkan orang yang dipimpinnya menderita.
Selain itu pemimpin harus kreatif dalam memimpin , sehingga orang yang dipimpinnya mempunyai wawasan baru dalam bertindak . Ditambahlagi seorang pemimpin harus melindungi segenap orang yang dipimpinnya.

Saat Pemimpin di Belakang atau Tut Wuri Handayani”
           Siapa bilang seorang pemimpin tidak boleh berada di barisan belakang? Pemimpin sejati diperlukan kehadirannya dibarisan belakang. Dari belakang seorang pemimpin dapat memberikan dorongan untuk terus maju. Pemimpin yang berada di barisan belakang harus pandai-pandai mengikuti barisan di depannya, agar konsisten gerakan dan arahnya , agar terjadi apa yang disebut goal cogruency, suatu keadaan di mana tujuan individu yang berada dalam suatu organisasi konsisten dengan tujuan organisasi. Tanpa goal congruency arah gerakan organisasi menjadi berat karena banyaknya arah yang tidak sama dan mungkin justru saling berlawanan.
     Ajaran kepemimpinan yang ketiga ini merupakan semboyan dari dunia Pendidikan , yang tentunya mempunyai makna yang mendalam . Jika diartikan secara keseluruhan Tut Wuri Handayani bertujuan untuk menciptakan pribadi yang Mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain . Dan diharapkan akan muncul generasi baru yang akan berani memimpin tanpa menunggu orang lain untuk memimpin .
          Adapun dorongan tersebut dapat berupa moral dan semangat kepada orang lain . Maka dari itu  pendidikan mengambil semboyan ini , agar pendidikan menjadi sebuah perantara membentuk generasi mandiri dan tidak bergantung pada orang lain . Maka dimasa yang akan datang dengan pendidikan yang dimilikinya orang tersebut tidak akan mudah untuk diperalat.
Seorang pemimpinan adalah motor penggerak yang
senantiasa mempengaruhi, mendorong dan mengarahkan orang-orang yang dipimpinnya supaya mereka mau bekerja dengan penuh semangat dan kepercayaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi. Oleh karena itu pemimpin seharusnya dapat memandu, menuntun, membimbing, memberi atau membangun motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi yang lebih baik, sehingga mampu membawa para bawahan untuk mencapai tujuan yang direncanakan.

Rabu, 15 Agustus 2012

Definisi Sosiologi Menurut Para Ahli


1.  Pitirim Sorikin
Menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari
a.    Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya, antara gejala ekonomi dan agama; keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dan politik dan sebagainya);
b.    Hubungandan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dan gejala-gejala non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya)
c.    Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

2.    Roucek dan Warren
Mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok sosial.

3.    William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff
Berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasil-hasil  interaksi tersebut.

4.    J. A. A. Van Dorn dan C. J Lammers
Berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang sttruktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.

5.    Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
Menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. 


6.    August Comte
Berpendapat bahwa sosiologi berasal dari katalatin socius yang artinya teman atau sesama dan logos dari kata Yunani yang artinya cerita.  Jadi, sosiologi berarti bercerita tentang kawan atau teman (masyarakat).

Sosiologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat positif yaitu mempelajari gejala-gejala dalam  masyarakat yang didasarkan pada pemikiran yang bersifat rasional dan ilmiah.

7.    Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tindakan sosial atau perrilaku-perilaku manusia.

8.    Emile Durkheim
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial yaitu fakta-fakta atau kenyataan yang berisikan cara bertindak, cara berpikir dan cara merasakan sesuatu dimana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.

9.    Herbert Spencer
Sosiologi adalah ilmu yang menyelidiki tentang susunan-susunan dan proses kehidupan sosial sebagai suatu keseluruhan/suatu sistem.

10. Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok-kelompok masyarakat dan produk/hasil dari kehidupan kelompok tertentu.

11. Mac Iver
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

12. J. Gillin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi yang timbul di dalam masyarakat.

13. P. J. Baouman
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia dan hubungan-hubungan antar golongan manusia.


14. Mr. J. Bierens De Haan 
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat manusia, baik mengenai hakekatnya, susunannya, hubungannya, kodrat-kodrat yang menggerakkannya, mengenai kesehatan dan perkembangan masyarakat.

15. George Simmel
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perhubungan sesama manusia (Human Relationship)


16. Lester Frank Ward
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk meneliti kemajuan-kemajuan manusia dan apa saja yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya.

17. Willian Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku-perilaku anggotanya yang menjadikannya masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai kelompok-kelompok dan berbagai kondisi-kondisi.

18. Allan Johnson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatusistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi individu dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem itu.

19. Vander Zanden
Sosiologi adalah studi ilmiah tentang interaksi manusia di masyarakat.

20. Anthony Giddens
Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia, kelompok-kelompok dan masyarakat.

21. Mayor Polak
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan yakni hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok.

22. Soerjono  Soekanto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.

23. Hassan Shadily
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan dengan mencoba mengerti sifat dan maksud bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta perubahannya.


Unsur - unsur Komunikasi

Secara umum, komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian pesan dari pihak pengirim (komunikator) kepada pihak penerima (komunikan). Dalam proses komunikasi terdapat tujuh unsur yang merupakan kesatuan yang utuh dan bulat.
  1. Komunikator
Komunikator adalah pengirim (sender) yang mengirim pesan kepada komunikan dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh dalam komunikasi, karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi. Komunikator dalam komunikasi massa berusaha untuk menyebarkan informasi, pemahaman, wawasan dan solusi-solusi dengan masayarakat luas yang tersebar dimana-mana dan tanpa diketahui dengan jelas keberadaan mereka

Komunikasi dapat dilihat dari jumlahnya terdiri dari:
1.      Satu orang.
2.      Banyak orang dalam pengertian lebih dari satu orang.
3.    Massa

2.      Komunikan
Komunikan adalah penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator, kemudian memahami, menerjemahkan dan akhirnya memberi respon. Komunikan dapat juga disebut khalayak yang artinya massa penerima informasi yang disebarkan oleh media massa. Mereka terdiri dari publik pendengar atau pemirsa sebuah media massa.

Komunikasi massa ditujukan pada khalayak luas yang heterogen dan anonim. Bersifat heterogen karena pesan atau informasi yang disampaikan terbuka untuk umum dan tidak diarahkan kepada kelas-kelas tertentu saja yang ada dalam masyarakat. Sedangkan bersifat anonim karena anggota-anggota khalayak secara individual tidak dikenal atau diketahui oleh komunikatornya.

3.      Pesan
Pesan adalah isi komunikasi berupa informasi yang disampaikan oleh Komunikator kepada Komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan sangat berpengaruh    terhadap kesinambungan komunikasi. Pesan dapat secara panjang lebar mengupas berbagai segi, namun inti pesan dari komunikasi akan selalu mengarah kepada tujuan akhir komunikasi itu.

Pesan bersifat Verbal (verbal communication) antara lain:
1)      Oral (komunikasi yang dijalin secara lisan).
2)      Written (komunikasi yang dijalin secara tulisan).
Pesan bersifat non verbal (non verbal communication) yaitu Gestural communication (menggunakan sandi-sandi -> bidang kerahasiaan)
Bentuk pesan:
1)      Informatif , bersifat memberikan keterangan-keterangan/fakta-fakta, kemudian komunikan mengambil keputusan
2)      Persuasif, berisikan bujukan yaitu membangkitkan pengertian dan kesadaran manusia bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan perubahan sikap, tetapi berubahnya adalah atas kehendak sendiri.
3)      Koersif, penyampaian pesan yang bersifat memaksa dan dengan menggunakan sanksi-sanksi apabila tidak dilaksanakan.
Pesan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Umum
2.      Jelas dan gamblang
3.      Bahasa yang jelas
4.      Positif
5.      Seimbang
6.      Penyesuaian dengan keinginan komunikasi
  1. Umpan balik (feedback)
Umpan balik dapat dimaknai sebagai jawaban komunikan atas pesan komunikator yang disampaikan kepadanya. Pada komunikasi yang dinamis, komunikator dan komunikan terus menerus saling bertukar peran.
Umpan balik dalam komunikasi massa umumnya bersifat tertunda, hal tersebut berbeda dengan umpan balik pada komunikasi tatap muka yang bersifat langsung. Namun dengan seiring perkembangan teknologi maka umpan balik yang bersifat tertunda pada komunikasi massa sudah ditinggalkan.
  1. Saluran / media
Saluran (channel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai sarana berkomunikasi. Saluran komunikasi merupakan alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Berupa bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain sebagainya.
  1. Efek / dampak
Efek adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yaitu sikap dan tingkahlaku orang, sesuai atau tidak sesuai  dengan yang kita inginkan. Apabila sikap dan tingkah laku orang lain itu sesuai maka itu komunikasi berhasil, demikian pula sebaliknya. Efek ini sesungguhnya dapat dilihat dari personal opinion, publik opinion, dan majority opinion.
Terdapat tiga tataran pengaruh dalam diri komunikan sebagai orang yang menerima pesan:
1.      Kognitif (seseorang menjadi tahu sesuatu).
2.      Afektif (sikap seseorang terbentuk).
3.       Konatif (tingkah laku, hal yang membuat seseorang bertindak melakukan sesuatu).
  1. Faktor-faktor yang diperhatika dalam proses komunikasi/ lingkungan
a.       Empat tahap proses komunikasi
Menurit Cutlip dan Center komunikasi yang efektif harus dilaksanakan dengan melalui empat tahap, yaitu : Pengumpulan Fakta (fact finding), Perencanaan, Komunikasi dan Evaluasi.

b.      Prosedur mencapai effect yang dikehendaki
Wilbur Schraam mengatakan: untuk mendapatkan effect yang baik dari komunikasi maka prosedur yang ditempuh adalah apa yang disebut sebagai “A-A Procedure” yaitu proses dari Attention (perhatian) ke Action (tindakan).


BIROKRASI DALAM SISTEM ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA

Administrasi sebagai ilmu mempunyai sifat umum dan universal dalam arti memiliki unsur-unsur yang sama, dimanapun dan kapanpun ilmu administrasi tersebut diterapkan. Banyak sistem administrasi negara yang kita jumpai di dunia ini dan hampir disetiap negara mempunyai sistem administrasi negara. Bahkan dari administrasi negara tersebut memiliki cabang lagi yaitu subsistem administrasi negara di setiap wilayah negara tertentu.
Subsistem negara administrasi negara tersebut menggambarkan hubungan antara administrasi negara dengan lingkungan sekitar baik lingkungan fisik maupun lingkungan masyarakat.
Untuk mempelajari hubungan administrasi negara dan lingkungan tersebut maka diperlukan suatu pendekatan yang diambil dari ilmu kehidupan yaitu ekologi. Ekologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan pengaruh yang bersifat timbal balik antara alam sekitar dengan organisme hidup.
Cabang atau subsistem dari ilmu administrasi tersebut disebut ekologi administrasi negara. Ekologi administrasi negara merupakan perkembangan lanjut dari perkembangan perilaku dan bukan administrasi lingkungan sebagaimana dipopulerkan oleh sebagian orang yang sebenarnya administrasi lingkungan itu belum pernah ditemukan dalam berbagai literatur ilmu administrasi. Dalam perkembangan perilaku dari aspek budaya dikaji pula berbagai pola perilaku seseorang ataupun sekelompok orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik, hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang berjalan, dipikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang peradaban (Inu Kencana, dkk, Ilmu Administrasi Publik; 140).
Ekologi administrasi adalah ilmu administrasi yang menaruh perhatian atas faktor-faktor ekologi yang mempengaruhinya. Kalau administrasi tentang lingkungan, dimaksudkan adalah administrasi tentang lingkungan. Hal itu lebih sesuai jika dikatakan sebagai ilmu kebijakan lingkungan.
            Dalam hubungan dengan ekologi administrasi negara, faktor-faktor ekologis ini banyak sekali dan bermacam-macam yang oleh para ilmuan dan peneliti diperinci untuk memudahkan menyelidiki dan mempelajari hubungan pengaruh timbal balik antara faktor-faktor tersebut dengan administrasi negara.
            Sistem administrasi negara Indonesia sejalan dengan aspek-aspek kehidupan nasional, sehingga faktor-faktornya terdiri dari faktor-faktor yang beraspek alamiah dan sosial (kemasyarakatan). Faktor-faktor yang beraspek alamiah, yaitu letak geografis, keadaan dan kekayaan alam, keadaan dan kemampuan penduduk sedangkan faktor-faktor yang beraspek sosial (kemasyarakatan), yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan (militer).1 (S. Pamudji “Ekologi Administrasi Negara” )
            Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara. Birokrasi dan Administrasi itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Setiap organisasi tidak akan lepas dari sebuah birokrasi dan administrasi. Karena birokrasi dan administrasi menyatupadukan aktivitas organisasi menuju titik yang sama.
Birokrasi
Dalam literatur ilmu sosial, birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekadar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan di tempat lain. Namun seringkali yang kita dapati di masyarakat bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintah tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan.
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari ssuatu bentuk organisasi yang digolongkan moderen. Konsepsi birokrasi weber yang dianut dalam organisasi pemerintah banyak memperlihatkan cara-cara officialdom di atas. Pejabat birokrasi adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Jabatan yang berada di hierarki atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang berada di tataran bawah.
Konsep birokrasi Weber mendapat kritikan dari Warren Bennis (1967). Ia mengatakan bahwa birokrasi Weberian sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan datang akan mengalami kejatuhan dan diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20 (Thoha, 1984).
Sampai saat ini sudah berada pada abad ke-21 ramalan Bennis dan juga para kritikus lainnya ternyata telah banyak menjadi kenyataan. Officialdom itu ternyata telah mulai pudar. Salah satu wujud dari pudarnya kerajaan pejabat itu ialah dilakukan gerakan reformasi dalam birokrasi pemerintah antara lain berusaha mengubah sikap keterbukaan pelaku-pelakunya.
Salah satu tanda kemajuan zaman dan perubahan global ialah diperlakukannya cara kerja dengan mempergunakan teknologi informasi. Cara kerja semacam ini akan menjadikan birokrasi tanpa batas (boundaryless organization, Ashkenas, 1995). Jika birokrasi tanpa batas ini dan tanpa kertas itu diperlakukan maka tatanan organisasi yang vertically operated , akan berubah dan memberikan wajah baru dari birokrasi yang tidak tidak lagi secara tegas mengikuti garis hierarki. Dengan demikian sesuai dengan asas demokrasi kewenangan demokrasi itu tidak hanya berada dihierarki atas (penguasa) melainkan ada di mana-mana (decentralized).
Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tata kepemerintahan tidak bisa dilepaskan dari aspek politik ini. Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik yang diorganisasikan secara poolitik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya dan mengenyampingkan kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah langsung ataupun tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Hampir semua masyarakat di negara mana pun di dunia ini semua orang memandang bahwa tindakan pemerintah yang dijalankan melalui mesin birokrasinya merupakan cara terbaik untuk menciptakan otorisasi dan menetapkan peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi pemerintah merupakan institusi yang bisa memberikan peran politik dalam memecahkan konflik politik yang timbul di antara orang dan kelompok orang-orang.
Birokrasi pemerintah harus bersifat netral. Jika pemerintah dibuat netral, maka rakyat secara keseluruhan akan bisa dilayani oleh birokrasi pemerintah. Melayani rakyat secara keseluruhan artinya tidak mengutamakan dan memihak kepada salah satu kepentingan kelompok rakyat tertentu. Oleh karena itu, netralitas birokrasi pemerintah dari kepentingan politik tertentu akan mampu melahirkan tatanan kepemerintahan yang demokratis.
Lembaga Birokrasi Pemerintah
Lembaga birokrasi adalah suatu elemen penting di dalam pengembangan bangsa di banyak negara yang sedang berkembang. Lembaga birokrasi itu terdiri dari badan dan organisasi yang dibentuk pemerintah, baik yang berupa lembaga kementerian negara, lembaga pemerintah nonkementerian, maupun lembaga nonstruktural berupa komisi dan dewan yang dibentuk lembaga kepresidenan.
Selama ini kelembagaan birokrasi pemerintah selalu ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang sedikit banyak menjauhkan dari terwujudnya demokrasi. Tarik-menarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan berada diantara legislatif dan eksekutif. Periodisasi dari tarik-menarik dari lokus dan fokus kekuasaan dalam sejarah pemerintahan Indonesia tersebut yaitu:
·         Periode 1945 – 1950
Pada periode ini, semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan kita. Persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sangat dijunjung tinggi oleh para pelakunya. Kepentingan minoritas lebih dihargai oleh kekuatan mayoritas demi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara proklamasi.
     Semangat primodial, dimana saat itu dipegang oleh PKI yang merupakan satu-satunya organisasi politik primodial yang mengancam negara proklamasi dan melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional.
     Pada awal kemerdekaan, lembaga pemerintahan dianggap sebagai sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi primodial dalam lembaga birokrasi pemerintahan. Lembaga ini menjadi incaran keekuatan-kekuatan politik. Partai-partai polotik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintahan ini.
·         Periode 1950 – 1959
Pada peridoe kedua ini, gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Sementara 1950 diperlakukan yang menganut sistem demokrasi parlementer,  bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini terselenggara pemilihan umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerinta dibubarkan hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partai-partai politik.
Sementara itu, aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik.partisipasi politik militer mulai tampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yag merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik.   
·         Periode 1960 – 1965
Pada periode ini, lembaga pemerintah semakin jelas diincar oleh kekuatan partai politik. Di bawah label demokrasi terpimpin, tiga partai politik membangun akses ke lembaga pemerintah. Tiga kekuatan partai politik Nasakom berambisi menggunakan jabatan birokrasi dalam lembaga pemerintah sebagai building block untuk kepentingan membangun organisasi partainya. Pada masa ini lembaga pemerintah sudah terperangkap ke dalam jaring yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti ketika terjadi tragedi nasional pemberontakan PKI 30 September 1965.
     Dari data yang diungkap ternyata kekuatan partai politik PKI telah menyusup ke hampir semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan nasionalis mendominasi kapling departemen masing-masing.  Pada periode ini dengan upaya PKI menguasai lembaga pemerintahan, dan peran partai politik yang semakin berrebutan kekuasaan ternyata partai politik kurang mampu menghadirkan pemerintahan sipil yang profesional. Oleh karena itu, pada saat ini lalu tampil kekuatan militer dalam panggung politik pemerintahan kita.
·         Periode 1966 – 1999
Pada periode ke empat antara tahun 1966 pertengahan tahun 1999 lembaga pemerintah lebih memihak kepada kekuatan politik yang dominan. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar dalam beberapa kali pemilu selama pemerintahan Orde Baru adalah karena peranan lembaga pemerintah ditambah kekuatan ABRI yang sangat solid mendukung Golkar sebagai tulang punggung pemerintahan.
     Lembaga birokrasi pemerintah mempunyai kepanjangan otoritasnya sampai ke pelosok desa diseluruh tanah air. Di hierarki atas birokrasi pemerintah terdapat lembaga kabinet yang dipimpin presiden dan dibantu para menteri. Di hierarki tengah terdapat lembaga Propinsi Pemerintah Daerah Tingkat I yag dipimpin Gubernur Kepala Daerah Penguasa Tunggal di wilayah propinsi. Di Daerah Tingkat II terdapat lembaga birokrasi pemerintah Kabupaten dan Kotamadya yang dipimpin Bupati/Walikota Penguasa Tunggal di daerah Tingkat II ini. Seterusnya di desa ada lurah dan kepala desa wakil penguasa tunggal tersebut di tingkat pedesaan. ABRI pun mempunyai hierarki  kekuasaan yang mengikuti sistem hierarki birokrasi pemerintah.
     Pada periode ini demokrasi yang meletakkan kedaulatan rakyat tidak banyak dipraktikkan. Sementara itu demokrasi menurut perspektif kekuasaan yang bernuansa rekayasa untuk kepentingan penguasa amat jelas di lakukan selama pemerintahan Orde Baru. Orang-orang militer banyak menguasai lembaga sipil, sehingga selama periode ini lebih banyak dikenal sebagai pemerintahan sipil yang dikuasai oleh militer.
Demikianlah perkembangan kelembagaan birokrasi pemerintahan yang cenderung menjadi sasaran dari kekuasaan, dan pada akhir dari periode yang terakhir tersebut mulai dirasakan perlunya reformasi.
Reformasi sekarang ini zamannya dan sistem politiknya telah berubah. Oleh karena itu, mestinya jabatan politik, nonpolitik, dan lembaga departemen dan nondepartemen tidak sama dengan zamannya pemerintahan Orde Baru dahulu.
            Semenjak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang ini interaksi kehidupan partai politik dan birokrasi tidak bisa dihindari. Interaksi itu membawa pengaruh baik positif maupun negatif bagi keduanya. Birokrasi pemerintah yang tidak bisa dipisahkan dari praktik kekuasaan membuat birokrasi pemerintah ibarat kerajaan kekuasaan atau pejabat.
            Penggunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah, tidak jauh bedanya dengan aplikasi teori elit seperti yang dikenal dalam referensi kehidupan politik di negara-negara maju. Teori ini menekankan bahwa kekuasaan itu tidak hanya berada di tangan elit birokrasi pemerintah, akan tetapi juga pelaksanaan kekuasaan itu berada di tangan elit yang tidak bertanggung jawab. Itulah sebabnya birokrasi pemerintah tidak mempunyai akuntabilitas terhadap rakyat (Hunter, 1953; Mills, 1959).
            Adanya hubungan yang erat antara birokrasi dan penguasa menyebabkan birokrasi sangat mudah sekali terpengaruh oleh orde politik. Hal ini sering terjadi di negara sedang berkembang. Di Amerika Latin misalnya, terbukti bahwa kejatuhan suatu rezim  menyebabkan hancurnya posisi birokrasi secara total. Tetapi hal ini tidak terjadi di negara-negara yang sedang mengalami pembaharuan atau negara yang telah memperoleh prestise birokrasi yang baik seperti di Thailand.
            Birokrasi pemerintah tidak lagi seperti yang dipostulatkan oleh pakar politik selama ini sebagai satu-satunya pusat kekuasaan. Dahulu mungkin benar, akan tetapi perubahan-perubahan yang terjadi menjelang abad ke-21 ini membuat situasi dan konstelasinya harus dibalik. Pusat kekuasaan ada di tangan rakyat. Dengan demikian jika kegiatan birokrasi pemerintah tidak cocok lagi dengan keinginan rakyat, maka birokrasi harus mau mempertanggungjawabkan kepada rakyat. Jika akuntabilitas ini benar-benar dikerjakan oleh birokrasi pemerintah, maka transparasi, keterbukaan, dan kejujuran akan diperlihatkan oleh kinerja birokrasi pemerintah.
Upaya untuk mengubah pemusatan kekuasaan yang ada di tangan elit birokrasi pemerintah itu, sehingga akuntabilitas  bisa dilakukan dengan membiasakakan melakukan desentralisasi kekuasaan. Pentingnya desentralisasi kekuasaan birokrasi pemerintah itu, selain untuk mengembalikan kekuasaan atau memberdayakan kepada rakyat, juga karena didorong oleh adanya keterbatasan yang dialami oleh birokrasi pemerintah sendiri.
 
Daftar Pustaka :
Thoha, Miftah. 2007. Biokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Ali, Farid. 2004. Filsafat Administrasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Pamudji, S. Ekologi Administrasi Negara. Jakarta : Bumi Aksara
Gaffar, Afan. 1989. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Jakarta : Rajawali
Mas’oed, Mohtar. 1994. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Zauhar, Soesilo. 2007. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta : Bumi Aksara