Sabtu, 08 Oktober 2011

Identitas Nasional

A. Hakikat Bangsa
Konsep bangsa memiliki pengertian yaitu:
1. Bangsa dalam arti sosiologis antropologis
Bangsa dalam pengertian sosiologis antropologis adalah persekutuan hidup masyarakat yang berdiri sendiri yang masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasaa, agama, dan adat istiadat.

2. Bangsa dalam arti politis
Bangsa dalam pengertian politik adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk pada kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Jadi, mereka diikat oleh kekuasaan politik, yaitu negara. Misalnya , kemunculan bangsa Indonesia (arti politis) setelah terciptanya negara Indonesia.

3. Cultural Unity dan Political Unity
Cultural unity terjadi karena suatu masyarakat itu merupakan satu persekutuan hidup berdiri sendiri yang merasa satu kesatatuan ras, religi, bahasa, sejarah, dan adat istiadat.
Political unity memiliki anggota yang mungkin berbeda corak dan latar belakang kebudayannya, tetapi mereka satu bangsa yang berdiam di suatu daerah yang disebut wilayah yang merupakan satu pemerintahan serta tunduk pada kekuasaan tertinggi.

4. Proses pembentukan bangsa-bangsa
Secara umum dikenal adanya dua proses pembentukan bangsa-negara, yaitu metode ortodoks dan metode muktahir.(Ramalam Surbakti, 1999). Model
Perbedaan model ottodoks dan model mutakhir.


B. Identitas Nasional
Kata identitas berasal dari bangsa Inggris identity yang memiliki pengertian harfifah; ciri, tanda atau jati diri yang pada seorang, kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain.

Sedangkan nasional berasal dari bahas inggris “national” yang dapat diartikan sebagai warga negara atau kebangsaan. Jadi identitas nasional berasal dari kata “national identity” yang dapat diartikan sebagai kepribadian national atau jati diri national. Kepribadian nasional atau jati diri nasional adalah jati diri yang dimiliki oleh suatu bangsa.

Istilah “identitas nasional” secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut.
Oleh karena itu, agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi.

Pada umumnya pengertian atau istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.

Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut.

Identitas nasional tidak cukup hanya dipahami secara statis tapi dipahami juga dalam arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.

Dalam hubungan dengan konteks identas nasional secara dinamis dewasa ini nampaknya bangsa indonesia tidak merasa bangga dengan bangsa dan negaranya di dunia internasional. Akibatnya dewasa ini semangat patriotisme, semangat kebangsaan, semangat untuk mempersembah karya terbaik bagi bangsa dan negara di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa indonesia belum menunjukkan akselerasi yang berarti, padahal jikalau sumber daya manusia indonesia juga seharusnya dapat dibanggakan.

1. Faktor Pembentukan Identitas Bersama
Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa meliputi:
a. Primodial d. Bhinneka Tunggal Ika
b. Sakral e. Perkembangan Ekonomi
c. Tokoh f. Kelembagaan

2. Identitas Kebangsaan (Cultural Unity)
Cultural Unity merujuk pada bangsa dalam pengertian kebudayaan atau bangsa dalam arti sosiologis antropologis. Identitas yang dimiliki oleh sebuah cultural Unity kurang lebih bersifat askriptif, bersifat alamiah, primer, dan etnik.

3. Identitas Kebangsaan (Political Unity)
Political Unity merujuk pada bangsa dalam pengertian politik yaitu bangsa negara. Beberapa bentuk identitas nasional adalah bangsa nasional, lambang nasioanal, bendera nasional, dan ideologi nasional

C. Hakikat Negara
1. Arti Negara
Negara mempunyai dua pengertian, yaitu pertama, adalah organisasi disuatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya. Kedua, negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang organisasinya di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai satu keputusan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Dalam arti luas, negara merupakan kesatuan sosial yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama.

2. Unsur-unsur Negara
Unsur-unsur negara meliputi:
a. Rakyat
Yaitu orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk pada kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan.
b. Wilayah
Yaitu tempat berhuninya rakyat dab tempat berlangsungnya pemerintahan yang berdaulat. Wilayah negara mencakup wilayah darat, laut dan udara.
c. Pemerintah yang berdaulat
Yaitu pemerintah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang dihormati dan di taati, baik oleh seluruh rakyat negara itu maupun oleh negara lain. Kekuasan pemerintah memiliki kedaulatan baik ke dalam maupum ke luar.

3. Teori Terjadinya Negara
a. Proses terjadinya negara secara teoritis
Beberapa teori terjadinya negara adalah sebagai berikut:
1) Teori Hukum Alam
Teori hukum alam merupakan hasil pemikiran paling awal, yaitu masa Plato dan Aristoteles. Menurut teori hukum alam, terjadinya negara adalah sesuatu yang alamiah. Bahwa segala sesuatu itu berjalan menurut hukum alam, yaitu mulai dari lahir, berkembang, mencapai puncaknya, layu dan akhirnya mati.

2) Teori Ketuhanan
Menurut teori ketuhanan, terjadinya negara adalah karena kehendak Tuhan, didasari kepercayaan bahwa segala sesuatul berasal dari Tuhan dan terjadi atas kehendak Tuhan.

3) Teori Perjanjian
Teori perjanjian muncul sebagai reaksi atas teori hukum alam dan kedaulatan Tuhan. Mereka menganggap kedua teori tersebut belum mampu menjelaskan dengan baik bagaimana terjadinya negara. Teori ini dilahirkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, dan Montesquieu.

Menurut teori perjanjian, negara terjadi sebagai hasil perjanjian antarmanusia/individu. Semua warga negara mengikat diri dalam suatu perjanjian bersama untuk mendirikan suatu organisasi yang bisa melindungi dan menjamin kelangsungan hidup bersama.

b. Proses terjadinya negara dizaman modern/faktual
Menurut pandangan ini dalam kenyataannya, terjadinya negara bukan disebabkan oleh teori-teori seperti di atas. Negara-negara di dunia ini terbentuk karena melalui beberapa prose, seperti:
1) Penaklukan atau occupatie
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai kemudian diduduki oleh suku atau kelompok tertentu.
2) Peleburan atau fusi
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur menjadi negara baru.
3) Pemecahan
Suatu negara baru muncul di atas wilayah suatu negara yang pecah karena suatu hal dan kemudian lenyap.
4) Pemisahan diri
Suatu wilayah negara yang memisahkan diri dari negara yang semula menguasainya, kemudian menyatakan kemerdekaan.
5) Perjuangan atau revolusi
Hal ini terjadi ketika penduduk pribumi dari suatu wilayah yang diduduki oleh bangsa lain mengadakan perjuangan (perlawanan) sehingga berhasil merebut kembali wilayahnya dan menyatakan kemerdekaan.
6) Cessie atau penyerahan
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah mengadakan perjanjian tertentu.
7) Pendudukan atas wilayah yang belum ada pemerintahan sebelumnya.

c. Proses terjadinya negara secara primer dan sekunder
Menurut G. Jellinek, terjadinya negara secara primer melalui empat tahapan, yaitu
1) Suku/persekutuan masyarakat (genootschaft)
2) Kerajaan (Rijk)
3) Negara
4) Negara Demokrasi
Menurut perkembangan negara secara sekunder, negara sebelumnya telah ada. Namun karena adanya revsolusi, intervensi, dan penaklukan, muncullah negara yang menggantikan negara yang ada tersebut. Kenyataan terbentuknya negara secara sekunder tidak dapat dimungkiri, meskipun cara terbentuknya kadang-kadang tidak sah menurut hukum.

4. Fungsi dan Tujuan Negara
Fungsi negara adalah sebagai berikut:
• Menjaga ketertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah berbagai bentrokan dan perselisihan dalam masyarakat (stabilitator).
• Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
• Mengusahakan pertahanan untuk menangkal kemungkinan serangan dari lua.
• Menegakkan keadilan, yang dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.
Fungsi negara secara umum adalah sebagai berikut:

a. Tugas Esensial:
Mempertahankan negara sebagai organisasi politik yang berdaulat. Tugas ini meliputi tugas internal (memelihara perdamaian, ketertiban, dan ketentraman dalam negara serta melindungi hak setiap orang) dan tugas eksternal (mempertahankan kemerdekaan negara). Tugas esensial ini sering disebut tugas asli dari negara sebab dimiliki oleh setiap pemerintah dan negara manapun di dunia.

b. Tugas Fakultatif:
Meningkatkan kesejahteraan umum, baik moral, intelektual, sosial maupun ekonomi.

D. Identitas Nasional Indonesia
Beberapa bentuk identitas nasional Indonesia adalah sebagai berikut
1. Bangsa nasional atau bangsa persatuan yaitu bahasa Indonesia
2. Bendera negara yaitu sang merah putih
3. Lagu kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4. Lambang negara yaitu Garuda Pancasila
5. Semboyan negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6. Dasar falsafah negara yaitu Pancasila
7. Konstitusi (hukum dasar) yaitu UUD 1945
8. Bentuk negara kesatuan republik yang berkedaulatan rakyat
9. Konsepsi wawasan nusantara
10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional




Sumber :
Winarno. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Edisi Pertama (Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi). Jakarta : PT Bumi Askara.
Winarno. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Edisi Kedua (Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi). Jakarta : PT Bumi Askara.
Bastari, Romzie A. 2010. Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Bakat, Pendidikan Kewarganegaraan. Indralaya : UPT MPK UNSRI

Berbagai Pendekatan dalam Ilmu Politik (Miriam Budiarjo)

Ilmu politik mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan munculnya beberapa pendekatan (approaches) yaitu Pendekatan Legal (yuridis) dan Institusional telah disusul dengan Pendekatan Perilaku, Pasca-Perilaku, dan Pendekatan Neo-Marxis. Selanjutnya muncul dan berkembang pendekatan-pendekatan yang lainnya seperti Pilihan Rasional (Rational Choice), Teori Ketergantungan (Dependency Theory), dan Institusionalisme Baru (New Institutionalism). Seorang sarjana politik terkemuka, Vernon van Dyke mengatakan bahwa : “Suatu Pendekatan (approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan”. Dengan kata lain, istilah pendekatan mencakup standar atau tolak ukur yang dipakai untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan diteliti dan data mana yang akan dikesampingkan
Pendekatan

 Pendekatan Legal/Institusional

Pendekatan Legal/Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang abad 19 sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat dari UUD, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskiptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah.
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Di samping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda dan Jerman. Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling penting) dalam proses menbuat dan melaksanakan keeputusan.

 Pendekatan Perilaku

Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat desktiptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979), antropologi dan psikologi. Ketiga, di kalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behaviour) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independent, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya.
Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Gabriel Almond berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga) dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Konsep ini sering disebut pandangan structural-functional.

 Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku

Para sarjana traditionalis seperti Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowell menyerang pendekatan perilaku dengan argumentasi bahwa pendekatan itu terlalu streril karena menolak masuknya nilai-nilai (value-free) dan norma-norma dalam penelitian politik. Menurut kalangan tradisionalis, mereka yang berada di balik Pendekatan Perilaku tidak mengusahakan mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai seperti apakah sistem politik demokrasi yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil dan sebagainya.
Juga dilontarkan bahwa Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik dan pendapat umum.

Perbedaan para tradisinoalis dan behavoralis

Tradisional
• Menekankan nilai-nilai dan norma-norma
• Menekankan segi filsafat
• Memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan
• Menonjolkan aspek historis yuridis
• Metode kualitatif

Behavoralis
• Menekankan fakta
• Menekankan penelitian empiris
• Memperjuangkan ilmu yang bersifat murni
• Mengutamakan aspek sosiologi-psikologis
• Metode kualitatif

Sejumlah kalangan behavioralis menyadari bahwa mereka telah gagal meramalkan ataupun mengatasi keresahan yang ditimbulkan oleh perang Vietnam. Maka dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan (relevance and action). Gerakan ini tidak menolak Pendekatan Perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala prioritasnya. Akan tetapi ia mendukung sepenuhnya Pendekatan Perilaku mengenai perlunya meningkatkan mutu ilmiah ilmu politik.

 Pendekatan Neo-Marxis

Sementara para penganut Pendekatan Perilaku sibuk menangkis serangan dari para sarjana Pasca-Perilaku, muncullah kritik dari kubu lain, yaitu dari kalangan Marxis. Para Marxis ini, yang sering dinamakan Neo-Marxis untuk memmbedakan mereka dari orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama.
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan antara lain golongan Kiri Baru (New Left).
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan Engels tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Selain itu karya Marx dan Engels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat fragmentaris dan terpisah-pisah. Dengan demikian banyak masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung sama sekali.
Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu sistem politik. Menurut pandangan struktural-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.

 Pendekatan Ketergantungan (Dependency Theory)

Kalangan lain yang juga berada dalam rangka teori-teori kiri, yang kemudian dikenal sebagai Teori Ketergantungan, adalah kelompok yang menkhususkan penelitiannya pada hubungan antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga.
Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperalisme, kelompok ini berpendapat bahwa imperalisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju.
Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju atau Dunia Ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak Barat. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi negara maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh negara maju.
Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan pendukung Teori Ketergantungan, yang pada awalnya memusatkan perhatian pada negara-negara Amerika Selatan adalah pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini. Ini bisa terlihat dari membubungnya utang dan kesenjangan sosial-ekonomi dari pembangunan di banyak negara Dunia Ketiga.

 Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)

Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang dibicarakan di atas mencapai semacam konsensus yang menunjukkan adanya plularitas dalam bermacam-macam pandangan. Ia juga lahir dalam dunia yang bebas dari peperangan besar selama empat dekade, di mana seluruh dunia berlomba-lomba membangun ekonomi negaranya. Berbagai variasi analisis telah mengembangkan satu bidang ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik (Political Economy). Dikatakan bahwa Manusia Ekonomi (Homo Economicus) karena melihat adanya kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi, terutama dalam penentuan kebijakan publik. Teknik-teknik formal yang dipakai para ahli ekonomi diaplikasikan dalam penelitian gejala-gejala politik. Metode induktif akan menghasilkan model-model untuk berbagai tindakan politik.
Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia pollitik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan (goal-seeking atau goal-oriented) yang mencerminkan apa yang dianggap kepentingan diri sendiri. Ia melakuaan hal itu dalam situasi terbatasnya sumber daya dan karena itu ia perlu menbuat pilihan. Pelaku Rational Action ini, terutama politisi, birokrat, pemilih dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational Choice.

 Pendekatan Institusionalisme Baru

Institusionalisme Baru (New Institutionalism) berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang diuraikan sebelumnya. Ia lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain. Institusionalisme Baru mempunyai banyak aspek dan variasi seperti Institusionalisme Baru Sosiologi, Institusionalisme Baru Ekonomi, dan sebagainya.
Institusionalisme Baru merupakan penyimpangan dari Institusionalisme Lama. Institusionalisme Lama mengupas lembaga-lembaga kenegaraaan seperti apa adanya secara statis. Berbeda dengan itu Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur.
Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihannya.
Pendekatan Institusionalisme Baru menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan intitusi berinteraksi.
Inti dari Institusionalisme Baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin sebagai berikut:
1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial, dan b) perilaku dari mereka yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan terus-menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka msing-masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga memengaruhi pembentukan prefensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis sebagai peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing.
Institusionalisme Baru menjadi sangat penting bagi negara-negarra yang baru membebaskan diri dari cengkeraman suatu rezim yang otoriter serta represif. Dalam proses ini nilai kembali memainkan peran penting.
Perbedaan Institusionalisme Baru dengan Institusionalisme Lama ialah perhatian Institusionalisme Baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah mengalami suatu lingkaran penuih (full circle).

Sumber Penerimaan dan Pengeluaran APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003).Merujuk Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun anggaran meliputi :

a. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih
b. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih
c. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004)

Tahun anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan. Sejak tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun kalender sebagai tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11 UU No. 1/2004).
Merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi.

Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka Negara dapat membuat rencana-rencana untuk mendukung pembelanjaan tersebut.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang Negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

Di bawah menyajikan struktur APBN. Struktur APBN terdiri dari pendapatan surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak TA 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statistics(GFS).


Format I-Account APBN

A. Pendapatan dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Pajak
2. Penerimaan Bukan Pajak
II. Hibah
B. Belanja Negara
I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja K/L
2. Belanja Non K/L
II. Dana Perimbangan
III. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B)
E. Pembiayaan
I. Dalam Negeri
II. Luar Negeri

Format APBN yang berlaku juga menunjukkan efisiensi penganggaran belanja dituntut dengan penganggaran yang dimulai dari satuan terkecil (satker) hingga ke posisi paling atas (KL), dituntut juga melalui reklasifikasi rincian belanja negara (menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya dirinci menurut sektor dan jenis belanja) yang mencegah terjadinya anggaran berganda serta adanya tuntutan untuk mendeskripsikan tujuan, output, dan outcome yang ingin dicapai disertai dengan indikator kinerja dari masing-masing kegiatan.

A. Pendapatan dan Hibah

I. Penerimaan dalam Negeri
1. Penerimaan Pajak
 PPh NON MIGAS (PPh BADAN, PPh Perorangan)
 PPh MIGAS
 PPN dan PPnBM
 PBB
 BPHTB
 Cukai
 Pajak lainnya –Bea Materai, Bea Lelang
 Pajak Perdagangan Internasional – Bea Masuk, Pajak Ekspor
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
a) Penerimaan Sumber Daya Alam
 Penerimaan SDA Minyak Bumi dan Gas Alam
 Penerimaan SDA Lainnya (Kehutanan, Pertambangan Umum, dan Perikanan)
b) Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
c) PNBN lainnya – Umum dan Fungsional

II. Hibah
Hibah adalah penerimaan Pemerintah yang berasal dari pemberian pihak lain, berupa uang atau barang, dari perorangan, badan hukum, atau Negara di mana, Pemerintah tidak perlu mengembalikan atau membayar kembali uang/barang yang diterimanya.
Hibah dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri,. Dalam APBN tidak direncanakan ada penerimaan ini karena penerimaan ini sangat tergantung dari pihak lain yang akan memberinya.


B. Belanja Negara
I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara, belanja Negara disusun berdasarkan format baru yaitu dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Rincian belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementrian Negara/lembaga pemerintah pusat.
1. Rincian belanja Negara menurut fungsi dibedakan atas:
 Pelayanan umum,
 Pertahanan,
 Ketertiban dan keamanan,
 Ekonomi,
 Lingkungan hidup,
 Perumahan dan fasilitas umum,
 Kesehatan,
 Pariwisata dan budaya,
 Agama,
 Pendidikan,
 Perlindungan social.
2. Rincian belanja Negara menurut jenis belanja (klasifikasi ekonomi) dibedakan atas:
Belanja Pemerintah Pusat
 Belanja pegawai,
 Belanja barang,
 Belanja modal,
 Pembayaran bunga utang,
 Subsidi,
 Belanja hibah,
 Bantuan sosial dan
 Belanja lain-lain.

II. Dana Perimbangan
Dana perimbangan pada dasarnya merupakan dana yang bersumbaer dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terbagi dari dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana perimbangan dar provinsi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun pada tahun 2007 dan tahun 2008 dana perimbang dari provinsi tersebut masuk ke dalam sumber penerimaan daerah lainnya.

III. Dana Alokasi Khusus dan Penyeimbang
Dana otonomi khusus dan dana penyeimbang adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan secara eksplisit dalam undang undang tentang otonomi khusus suatu daerah tertentu, serta untuk penyeimbang kekurangan dana alokasi umum.

C. Keseimbangan Primer
Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Indicator keseimbangan primer menunjukan surplus atau deficit APBN tanpa pembayaran bungan utang. Semakin besar surplus keseimbangan primer menunjukan APBN semakin mampu membayar beban utang.

D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B)
Surplus atau defisit merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit, sebaliknya jika penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus.

E. Pembiayaa
n
1. Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal Negara.
2. Pembiayaan Luar negeri meliputi:
a) Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman dan Pinjaman Proyek
b) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium



Sumber:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2001 tentang APBN TA 2002
http://www.sumedangkab.go.id/
http://www.bappenas.go.id/
http://www.staff.ui.ac.id/