Sabtu, 08 Oktober 2011

Berbagai Pendekatan dalam Ilmu Politik (Miriam Budiarjo)

Ilmu politik mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan munculnya beberapa pendekatan (approaches) yaitu Pendekatan Legal (yuridis) dan Institusional telah disusul dengan Pendekatan Perilaku, Pasca-Perilaku, dan Pendekatan Neo-Marxis. Selanjutnya muncul dan berkembang pendekatan-pendekatan yang lainnya seperti Pilihan Rasional (Rational Choice), Teori Ketergantungan (Dependency Theory), dan Institusionalisme Baru (New Institutionalism). Seorang sarjana politik terkemuka, Vernon van Dyke mengatakan bahwa : “Suatu Pendekatan (approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan”. Dengan kata lain, istilah pendekatan mencakup standar atau tolak ukur yang dipakai untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan diteliti dan data mana yang akan dikesampingkan
Pendekatan

 Pendekatan Legal/Institusional

Pendekatan Legal/Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang abad 19 sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat dari UUD, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskiptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah.
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Di samping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda dan Jerman. Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling penting) dalam proses menbuat dan melaksanakan keeputusan.

 Pendekatan Perilaku

Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat desktiptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979), antropologi dan psikologi. Ketiga, di kalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behaviour) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independent, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya.
Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Gabriel Almond berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga) dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya. Konsep ini sering disebut pandangan structural-functional.

 Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku

Para sarjana traditionalis seperti Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowell menyerang pendekatan perilaku dengan argumentasi bahwa pendekatan itu terlalu streril karena menolak masuknya nilai-nilai (value-free) dan norma-norma dalam penelitian politik. Menurut kalangan tradisionalis, mereka yang berada di balik Pendekatan Perilaku tidak mengusahakan mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai seperti apakah sistem politik demokrasi yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil dan sebagainya.
Juga dilontarkan bahwa Pendekatan Perilaku tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak memusatkan perhatian pada masalah yang kurang penting, seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap politik dan pendapat umum.

Perbedaan para tradisinoalis dan behavoralis

Tradisional
• Menekankan nilai-nilai dan norma-norma
• Menekankan segi filsafat
• Memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan
• Menonjolkan aspek historis yuridis
• Metode kualitatif

Behavoralis
• Menekankan fakta
• Menekankan penelitian empiris
• Memperjuangkan ilmu yang bersifat murni
• Mengutamakan aspek sosiologi-psikologis
• Metode kualitatif

Sejumlah kalangan behavioralis menyadari bahwa mereka telah gagal meramalkan ataupun mengatasi keresahan yang ditimbulkan oleh perang Vietnam. Maka dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan mencanangkan perlunya relevansi dan tindakan (relevance and action). Gerakan ini tidak menolak Pendekatan Perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala prioritasnya. Akan tetapi ia mendukung sepenuhnya Pendekatan Perilaku mengenai perlunya meningkatkan mutu ilmiah ilmu politik.

 Pendekatan Neo-Marxis

Sementara para penganut Pendekatan Perilaku sibuk menangkis serangan dari para sarjana Pasca-Perilaku, muncullah kritik dari kubu lain, yaitu dari kalangan Marxis. Para Marxis ini, yang sering dinamakan Neo-Marxis untuk memmbedakan mereka dari orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama.
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan antara lain golongan Kiri Baru (New Left).
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan Engels tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Selain itu karya Marx dan Engels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat fragmentaris dan terpisah-pisah. Dengan demikian banyak masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung sama sekali.
Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu sistem politik. Menurut pandangan struktural-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.

 Pendekatan Ketergantungan (Dependency Theory)

Kalangan lain yang juga berada dalam rangka teori-teori kiri, yang kemudian dikenal sebagai Teori Ketergantungan, adalah kelompok yang menkhususkan penelitiannya pada hubungan antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga.
Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperalisme, kelompok ini berpendapat bahwa imperalisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju.
Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju atau Dunia Ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak Barat. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi negara maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh negara maju.
Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan pendukung Teori Ketergantungan, yang pada awalnya memusatkan perhatian pada negara-negara Amerika Selatan adalah pandangan mereka yang membuka mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini. Ini bisa terlihat dari membubungnya utang dan kesenjangan sosial-ekonomi dari pembangunan di banyak negara Dunia Ketiga.

 Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)

Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang dibicarakan di atas mencapai semacam konsensus yang menunjukkan adanya plularitas dalam bermacam-macam pandangan. Ia juga lahir dalam dunia yang bebas dari peperangan besar selama empat dekade, di mana seluruh dunia berlomba-lomba membangun ekonomi negaranya. Berbagai variasi analisis telah mengembangkan satu bidang ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik (Political Economy). Dikatakan bahwa Manusia Ekonomi (Homo Economicus) karena melihat adanya kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi, terutama dalam penentuan kebijakan publik. Teknik-teknik formal yang dipakai para ahli ekonomi diaplikasikan dalam penelitian gejala-gejala politik. Metode induktif akan menghasilkan model-model untuk berbagai tindakan politik.
Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia pollitik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan (goal-seeking atau goal-oriented) yang mencerminkan apa yang dianggap kepentingan diri sendiri. Ia melakuaan hal itu dalam situasi terbatasnya sumber daya dan karena itu ia perlu menbuat pilihan. Pelaku Rational Action ini, terutama politisi, birokrat, pemilih dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational Choice.

 Pendekatan Institusionalisme Baru

Institusionalisme Baru (New Institutionalism) berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang diuraikan sebelumnya. Ia lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain. Institusionalisme Baru mempunyai banyak aspek dan variasi seperti Institusionalisme Baru Sosiologi, Institusionalisme Baru Ekonomi, dan sebagainya.
Institusionalisme Baru merupakan penyimpangan dari Institusionalisme Lama. Institusionalisme Lama mengupas lembaga-lembaga kenegaraaan seperti apa adanya secara statis. Berbeda dengan itu Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur.
Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihannya.
Pendekatan Institusionalisme Baru menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan intitusi berinteraksi.
Inti dari Institusionalisme Baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin sebagai berikut:
1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial, dan b) perilaku dari mereka yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan terus-menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka msing-masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga memengaruhi pembentukan prefensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis sebagai peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing.
Institusionalisme Baru menjadi sangat penting bagi negara-negarra yang baru membebaskan diri dari cengkeraman suatu rezim yang otoriter serta represif. Dalam proses ini nilai kembali memainkan peran penting.
Perbedaan Institusionalisme Baru dengan Institusionalisme Lama ialah perhatian Institusionalisme Baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah mengalami suatu lingkaran penuih (full circle).

3 komentar:

  1. mbak fitra yang cantik saya mau tanya dong ulasanya ttg. depedency ratio (pendekatan ketergantungan). gimana mba ada kah ulasanya

    BalasHapus
  2. Kok tidak disertakan daftar pustakanya?

    BalasHapus
  3. Terimakasih untuk materinya, cukup ringkas.

    BalasHapus